Rabu, 29 Agustus 2012

Ingin Ku Berkata "Iya"


INGIN KU BERKATA “IYA”
Oleh: Dilla Bintang

Semilir angin malam nan dingin tak henti menyapa Rista, namun ia seperti tak menyadarinya. Dari kejauhan bintang-bintang seolah tak berkedip melempar pandangan kagum kearah Rista yang sedari dari tak bergeming dari tempat duduknya. Rupanya jemarinya masih asyik menari diatas keyboard notebooknya. Sesekali ia nampak tertegun sejenak, tak lama berselang, jemarinya kembali beraksi dengan lincah dipanggung keyboard. Subhanallah… saking asyiknya, godaan angin malam yang mengibarkan jilbabnya dari jendela pun tidak di rasakannya.
Tak lama kemudian ia kembali tertegun, namun kali ini sambil meregangkan persendian tubuhnya.
“Subhanallah… Astaghfirullahal “adhim…. Hm… pegel baget dech.” Katanya sambil meraih ponsel yang dari tadi dibiarkan terlantar diatas tempat tidurnya.
“Masya Allah…!!!” serunya sambil tersenyum memandang ponselnya.
Ternyata ada beberapa messages sahabat-sahabatnya. Ia pun membalasnya satu per satu. Punten rlz cz … begitulah awal pesan yang ditulisnya. Rista memang sering kali men-sillent ponselnya. Ia tak begitu suka berkutat dengan HP. Meski begitu, ia selalu meluangkan waktu untuk membalas pesan dari sahabatnya meski sering kali tidak tepat waktu. Sahabatnya pun maklum dengan kebiasaanya yang satu ini.
Ia kembali tertegun setelah membaca sebuah pesan dari Faris. Ia pun berjalan menuju jendela, pandangannya menerawang jauh ke angkasa seolah hendak membalas tatapan bintang-bintang yang sudah dianggap sebagai sahabat terbaiknya. Sekali lagi ia membaca pesan dari Faris, kemudian ia menarik napas panjang dan berat. Wajahnya menghadap ke langit, namun mata dan mulutnya terkunci. Ia tampak galau. Selang beberapa saat, matanya terbuka sambil mendesah lirih,”Subhanallah, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang Maha Sempurna!”.
Setelah itu, ia melirik jam dinding ditembok kamarnya, ternyata sudah pukul 23.00’WIB. Dengan terampil ia menutup jendela dan merapihkan buku-bukunya dalam diam. Ia menuju tempat tidurnya, lalu berbaring. Ia tampak berusaha keras untuk tidur. Namun matanya belum mau terpejam. Ia pun bangun, masih dalam diam. Setelah itu, ia berjalan ke luar kamar untuk berwudlu.
Sekembalinya dari belakang, wajahnya tampak lebih tenang meski masih murung. Tangannya meraih diary dan pena, ia pun mulai menulis.
Dear diary, Sahabatku…
Dia kembali menyatakan perasaannya padaku. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Apa yang sebaikknya aku katakan padanya?Hm… aku nggak suka keadaan ini. Ya Allah… Aku… Hah?! Entahlah, aku jadi nggak bersemangat lagi, serba susah. Astaghfirullah…
Diary, udah ku coba untuk mengalihkan perhatian darinya, udah berulang kali aku mencoba melupakannya. Tapi kenapa aku seolah tak berdaya? Ingatan akan dirinya begitu tajam dalam benakku. Sulit sekali aku mengelak darinya. Hm… aku benci keadaan ini.
Baru beberapa kalimat, ia berhenti lagi. Ditinggalkannya diary dan pena dalam keadaan terbuka, ia beralih duduk di depan cermin hiasnya. Ia pun mencoba tersenyum, lalu kembali menarik napas panjang. Ia membatin sambil memandang kearah bayangannya dalam cermin dan memainkan rambut panjangnya.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Dia masih saja mengejarku. Padahal sudah berkali-kali ku beri pengertian. Namun ia seolah tak pernah mau tahu. Aku tersiksa, aku merasa terganggu sekali. Kalau ku abaikan begitu saja, aku takut dia terluka, aku tak mau itu terjadi. Ya Karim, aku harus bagaimana?”
Rista masih memainkan ujung rambutnya, wajahnya memelas, dan matanya sedikit berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata:
“Ya Allah, salahkah aku jika aku bersikukuh dengan komitmen pribadiku untuk serius menuntut ilmu dan menepis segala angan tentang ‘cinta’ untuk sementara waktu? Setidaknya sampai studi S1-ku selesai. Salahkah jika aku ingin selalu dekat dengan-Mu dan belum ingin menjalin hubungan khusus dengan teman putra? Ku rasa, aku belum siap untuk memasuki dunia itu. Tapi mengapa ia masih saja mengejarku? Ya Rabb… Bagaimana ini? Aku tak tahu dan aku merasa terganggu. Harus dengan cara apa lagi aku menerangkan komitmenku ini padanya?”
Rista bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju diary-nya. Sekarang, jemarinya mulai melukis kata. Ia curahkan kegalauan hatinya itu. Faris adalah teman yang ia kenal setahun lalu dalam sebuah kegiatan. Perkenalan yang tidak disengaja itu ternyata berlanjut. Semakin hari Rista dan Faris semakin akrab. Mereka jarang sekali bertemu, bahkan hampir tidak pernah bertemu. Kalaupun ada kesempatan bertemu lagi dalam kegiatan lain, keduanya hanya tersenyum saja tanpa banyak kata. Setelah itu, mereka bergabung dengan teman yang lain.
Keakraban yang terjalin ternyata menumbuhkan benih-benih kekaguman di hati keduanya. Namun, mereka tak pernah mengangkatnya dalam setiap topic pembicaraan mereka. Basic keagamaan membuat tirai pemisah antara keduanya. Meski begitu, cinta bisa datang kapan saja, di mana saja, dan pada siapa saja, termasuk kepada kedua remaja itu.
Sebenarnya usia Rista berpaut sedikit banyak dengan Faris. Namun, keduanya tak pernah mempermasalahkan, karena mereka sepakat untuk menjadi kakak-adik. Rista pun merasa tidak keberatan, ia enjoy menjadi adik dari Faris. Jika tiba-tiba Faris menyatakan perasaannya, maka Rista pun mau tak mau harus menjawabnya. Itulah yang membuat Rista gundah, ia tak tahu harus berkata apa. Ada kekaguman dalam hatinya, ada kenyamanan ketika saling berbagi cerita, bercanda, tertawa, sedih, kecewa, dan sebagainya. Meski Rista merasakan ada yang berbeda dan ada harapan lebih dalam hatinya, namun ia tak pernah membayangkan suatu saat Faris akan mengungkapkan isi hati kepadanya, Bahkan ketika hal itu benar-benar terjadi pun, ia merasa tak percaya, ia gunda gulana.
Tak lama berselang lembaran diary-nya telah penuh dengan goresan penanya. Setelah dirasa perasaannya lebih tenang, ia pun kembali ke tempat tidurnya dan langsung berbaring. Dalam sekejap, ia pun terlelap dalam buaian mimpi.
Keesokan harinya ia beraktivitas seperti biasanya, ia tampak bersemangat, kegalauan yang semalam sempat bersarang di hatinya seolah telah sirna ditelan malam. Sesekali terdengar senandung lirih dari bibirnya. Kebetulan hari itu ia sedang libur, jadi pagi itu Rista membantu ibunya mengerjakan tugas rumah tangga. Setelah semuanya beres, ia menuju ke kamarnya untuk melanjutkan mengerjakan tugas kuliahnya. Sebelum meraih notebooknya, Rista meraih ponselnya terlebih dahulu, ternyata ada beberapa pesan dari Faris.
“Allahu Robby… dia lagi! Kenapa pula harus itu yang ditanyakan lagi? Astaghfirullahal ‘adhim…” desahnya.
Ia pun menekan digit huruf yang ada di ponselnya dengan cepat untuk membalas pesan Faris, ia mencoba menggambarkan kerisauan hatinya kepada Faris.
“Aslm’lkm, Mz Faris… Q mnt maaf jk slma nie da skp/tu2r kt q yg krg brkenan d hati Mz. Mgkn q g bs mjd spt pa yg Mz hrpkn. Q hrp Mz bs ngerti, q udh prnh blg smw’y ttg komitmen q k Mz kn? Maaf, jwbn q msh sm dg yg dl. Q blm bs lbh dr ni. Q pny mimpi yg ingn q wujudkn, q ingn menikmati hari2 q tnp trbebani dg mslh it dl. Q yqn, sbntr lg saat’y akn tiba. Tp, maaf bgt, Q g bs mmberikn hrpn pa2. Jk Mz ingn brshbt dg q, dg senang hati q mnerima’y, tp klo lbh dr it sprt’y q blm bs. 1x lg maaf… Q mghargai prsn Mz, q bhgia, tp… smw it da wkt’y, n mnrt q, skrng bknlh saat yg tpt. Maaf…”
Delivered to Faris, begitulah yang muncul di layar ponselnya. Rista duduk terpekur di meja belajarnya. Semangatnya yang semula membara, kini agak terganggu. Ia mendadak badmood, alih-alih mengerjakan tugas, ia malah memainkan penanya. Hatinya kembali dihinggapi kegalauan.
Rista adalah seorang gadis yang relatif tertutup, ia sangat menjaga jarak dengan teman-temannya, bahkan dengan sesama teman wanita pun ia terkesan hati-hati. Mungkin itulah sebabnya ia begitu risau. Untuk remaja seusia Rista, semestinya cinta adalah hal biasa. Tapi tampaknya itu tidak berlaku bagi Rista. Sejak kali pertama Faris menyatakan kekaguman terhadap dirinya, Ia mulai berubah. Ia lebih pendiam dari biasanya, rona wajahnya sering muram, dan cenderung menarik diri dari pergaulan. Bahkan saat ada tugas kuliah pun, ia memilih untuk mengerjakannya sendiri walaupun sebenarnya itu adalah tugas kelompok.
Ada kekhawatiran dalam hatinya. Nasihat guru SMA-nya dulu terus saja terngiang-ngiang di telinganya,”Wala taqrabuz zina! Ingat, jangan sampai kalian terlena!” Begitulah kata-kata yang selalu diucapkan guru agamanya. Nasihat itu begitu membekas dalam benaknya. Ia juga ingat berulang kali gurunya berpesan,”Anakku, jadilah laksana gaun nan indah yang bertahtakan permata yang terletak di lantai mall paling atas, di mana tidak sembarang orang bisa menjangkaunya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mendapatkan dan memilikinya.” Itulah yang membuatnya bersikeras untuk bertahan dengan komitmennya.
Biasanya ketika ia sedang terhimpit masalah yang berat baginya, ia mencurahkannya kepada gurunya dulu. Namun, untuk masalah ini ia tidak melakukannya. Ada perasaan malu di hatinya untuk menceritakan hal ini pada bidadari ilmunya itu. Dia belum pernah menyingung masalah cinta di depan bidadari ilmunya. Ia merasa hal itu seolah masih tabu. Kalau pun ia sudah bisa mencerna sedikit tentang hakikat cinta, namun ia sendiri merasa belum siap untuk terlibat lebih jauh dalam mengenalnya.  Ia lebih suka terlibat dalam diskusi yang serius daripada membahas masalah lain yang kurang menarik perhatiannya.
Sedang asyik merenungkan nasihat guru agamanya, tiba-tiba sinar ponselnya memancar pertanda ada pesan masuk. Dengan sigap ia meraih dan membuka isi pesan itu. Yupz, ternyata balasan dari Faris. Rista pun buru-buru membacanya, ternyata isinya menyatakan bahwa Faris tidak akan memaksa Rista. Ia hanya ingin mengungkapkan perasaan dan kekagumnannya akan sosok Rista. Bagi Faris, Rista itu bukan wanita biasa, dalam pesannya ia menuliskan:
Ya, Ris, Q bs ngerti koq. Q g akn memaksa km. Q jd smqn bangga n kagum 5 km. jrg s x da wanita sprt km. Byk wanita cantik, pinter, ramah, berpendidikan, cerdas, dan fasih yg q temui, tp g da yg sprt km. Mrk hny pny 1 / 2 / bbrp dr kriteria yg q sbtkn, smntr km pny smw’y. q salut bgt 5 km, km adl wanita yg tangguh dan charming. Km bak bidadari, smntr q pa? Q ckp tahu diri koq, q g pantas wt km dg sgla sft km yg hmpir perfect, km brhak mdpt yg jauh lbh baik dr q. Smg pa yg km cita2kn dpt trlksna. Jk d izinkn q ingn brsm mu slma’y. Q cyk km, Rista.”
Seketika itu juga mata Rista berbinar, kemudian ada rintik air mata haru yang jatuh di pipinya. Ia tersenyum, diciumnya layar ponsel yang berisi pesan dari Faris itu sambil berbisik, “Amin, alhamdulillahi robbil ‘alamin, subhanallah… makasih, Mz Faris. Ya Karim, berikanlah gadis terbaik untuk menjadi pendamping hidup Mz Faris, sungguh ia adalah pemuda yang baik. Mudahkanlah urusannya, bimbinglah ia untuk mendapatkan cinta sejatinya,. Siapapun ia, ia adalah wanita yang beruntung karena bisa hidup berdampingan dengannya. Kuatkanlah hati ini, Ya Allah… amin…”
Tak terbayang betapa bahagianya hati Rista saat membaca pesan itu, bukan karena pujian yang dilontarkan Faris, bukan pula karena statement terakhir Faris, melainkan karena ia bersyukur Allah SWT telah mengabulkan permohonannya. Inilah yang diharapkan oleh Rista, ia tidak ingin masalah ini menjadikan tali persahabatan yang telah terjalin menjadi putus. Ia ingin ukhuwah yang telah terbina bisa senantiasa terjaga. Rista pun membalas pesan Faris dengan diiringi senyum ceria. Rasanya beban berat yang ada di pundaknya terlepas sudah.
Rista langsung mengambil penanya dan menulis kata-kata dalam diary-nya:
Subhanallah, bahagianya hati ini karena dicintai oleh pemuda yang baik akhlaqnya dan baik pula fisiknya. Seandainya saja aku tidak terikat dengan komitmenku, ingin rasanya aku berkata “iya”. Namun, aku tidak menyesal. Aku hanya ingin menjaga izzah diriku saja. Aku yakin, kalau jodoh pasti tak kemana. Ya Allah… peliharalah hati ini, jangan palingkan cintaku pada-Mu hanya karena perkara dunia. Namun jadikanlah benih cinta yang ada di hatiku sebagai penguat cintaku pada-Mu. Ku titipkan rasa ini pada-Mu, ku mohon berilah jalan terbaik untuk kami berdua, amin.
Semoga ke depan lebih baik. Ku sambut hari esok dengan senyum dan harapan pasti. Semoga asa, cita, dan cinta dalam hati ini dapat terwujud, amin… Cayoo, cantik…!!! @_@
“Alhamdulillah, akhirnya masalah ini selesai juga. Aku nggak perlu risau lagi.” Gumamnya lirih.
Tiba-tiba ia teringat dengan ustadznya yang tempo hari menghadiri peringatan Maulid Nabi di Masjid desanya. Saat itu ia menjadi MC, tapi sama sekali tidak menyadari ada ustadznya. Usai acara, ketika sedang beramah-tamah, ia melihat ustadznya sedang berdiri di luar ruangan.
“Ustadz Muntaha?! Temen-temen itu Ustadz Muntaha khan?” ujarnya dengan nada girang. Teman-temannya yang turut jadi panitia mengiyakan dan tampak girang juga.
“Iya, wah… ustadz beda ya, berapa tahun kita nggak ketemu ya?” bisik Hera.
“Yang pasti udah lama bangetlah, aku ingat betul dulu aku masih kelas VI waktu diajar beliau, sekarang udah kuliah semester 4.” Kata Rista.
Usai ramah-tamah, Rista dan teman-temanya mencuci piring perlengkapan makan lainnya yang tadi digunakan dalam ramah tamah. Sementara panitia putra sedang sibuk  membersihkan tempat dan perlengkapan lain. Setelah semuanya tercuci, teman-temannya langsung pulang, sementara Rista masih melanjutkan pekerjaan yang tersisa.
“Hai Rista, kok belum pulang?” Tanya Ustadz Muntaha.
“Innalillahi, Astaghfirullah… Ustadz… kaget tahu…” ucap Rista sambil mengelus dada dan mengatur nafasnya.
“Hahaha… Masa gitu aja kaget, Ris?” kata Ustadz Muntaha lagi.
“Abist Ustadz datangnya tiba-tiba sih. Oh iya, kapan datang, Ustadz? Ibu sama adik ikut nggak?” Tanya Rista.
“Nggak, acaranya malam kok. Kasihan kalau diajak turun. Tadi berangkat dari rumah habis maghrib. Ngomong-ngomong kamu banyak berubah ya? Sekarang udah jadi gadis cantik, pintar pula. Dulu kamu pendiam dan pemalu banget sih. Sekarang kok berubah 180 derajat.” Komentar Ustadz Muntaha.
“Akh… Ustadz bisa aja. Udah 8 tahun berselang, pasti bedalah… Ustadz juga beda, agak gemukan sekarang.” Kata Rista sambil tersenyum.
“Apa?! 8 tahun? Udah lama juga ya, nggak terasa. Tapi Ustadz salut dan bangga melihat kamu sekarang. Hebat… hebat…” puji Ustadz Muntaha sambil memamerkan dua jempol tangannya.
“Makasih, Ustadz. Siapa dulu Ustadznya…” kata Rista yang disambut dengan senyum bangga Ustadz Muntaha.
“Oh iya, itu siapa, Ustadz?” Tanya Rista sambil menunjuk seorang pemuda seusianya yang sedari tadi bersama Ustadznya. Tapi dia duduk agak jauh dari tempatnya berbincang dengan Ustadz Muntaha.
“Itu santriku, kalau mau pergi ke mana, dia yang sering tak ajak. Anaknya rajin dan ulet soalnya. Kenapa?” kata Ustadz Muntaha balik bertanya.
“Oh… nggak papa, tanya aja. Kirain adiknya Ustadz.” Jawab Rista.
“Kalau adikku kenapa?” Tanya Ustadz lagi dengan nada menggoda.
“Ya nggak papa juga, pengen tahu aja. Tadi sempet bertanya-tanya, dia siapa? Sepertinya aku nggak kenal, tapi dari tadi kok bareng sama Ustadz terus. Ternyata santri Ustadz juga tha, orangnya pendiam banget ya, Tadz?” kata Rista.
“Iya, emang gitu, masih malu-malu. Ngomong-ngomong calonmu orang mana, Ris?” Tanya Ustadz Muntaha.
Dalem, Ustadz? Calon apa? Kok tiba-tiba tanya gitu? Ehm… saat ini belum ada planning ke sana, Ustadz.” Kata Rista sambil tersipu. Risih juga ditembak pertanyaan yang sangat privacy.
“Masa sih? Kamu kan udah besar, sekarang usiamu berapa? Tanya Ustadz lagi.
“Belum genap 20 tahun, Ustadz. Sekarang masih ingin fokus kuliah dulu. Kata Ustadz dulu kan, kejar dulu cita-citamu! Jangan buru-buru mengenal cinta.” Terang Rista.
“Ya, benar. Bagus! Tapi kalau udah 20 tahun sudah cukup umurlah… Nikah dulu, terus lanjut kuliah nggak papa kan?” kata Ustadz Muntaha.
“Iya, benar takh, ustadz. Tapi sepertinya aku mau fokus dulu aja. Tinggal 2 tahun lagi kok. Eh, kok malah bahas itu sih, Ustadz sih…” kata Rista berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ya nggak papa sih, mumpung ketemu. Nanti kalau kamu nikah, Ustadz mau datang. Nanti kalau sudah ada calon ngasih kabar ya…” goda Ustadz Muntaha.
“Iya, siap, Ustadz! Insya Allah, doain ya biar cepet, amin.” Kata Rista. Keduanya pun tertawa bersama.
Rista tersenyum sendiri mengingat percakapan itu,”Kalau Ustadz Muntaha tahu kisah hari ini, apa komentar beliau ya? Allahu Robby… Ustadz… Ustadz… Doakan santrimu ini ya…” bisik hati Rista.
Rista meraih ponselnya, sedianya ia ingin bercerita sama Ustadz Muntaha. Tapi ia mengurungkan niat.”Nggak akh, sepertinya aku belum perlu curhat sama Ustadz, lagi pula sekarang adalah kesempatan emas untuk serius belajar. Sekarang aku nggak perlu khawatir akan melukai hati orang lain. Yupz! Saatnya beraksi. Dulu Habib Luthfi juga pernah menasihatiku dan teman-teman untuk memaksimalkan kesempatan yang ada untuk meraih cita-cita. Okay, No Time for Love, but this Time for Study.” Gumam Rista pada dirinya sendiri.
Kini Rista meraih notebooknya, ia mulai mengerjakan tugasnya dengan penuh semangat. Beban berat yang menggelayutinya kini terlepas sudah. Kini senyum manis kembali menghiasi bibir indahnya.

*** the end ***