Rabu, 03 Oktober 2012

Kalau Suka Bilang Aja


KALAU SUKA BILANG AJA
Oleh: Dilla Bintang


“Subhanallah… Hmm…” bisik Zahra sambil menggeliat, kemudian segera beranjak dari ranjangnya. Tangannya langsung meraih ponsel untuk mematikan alarm. Tampak beberapa pesan yang belum dibacanya, ternyata hanya ucapan selamat istirahat dari sahabatnya. Ia pun meletakkan ponselnya kembali dan berniat untuk mengambil air wudlu.
Ketika ia hendak membuka pintu kamar, tiba-tiba ponselnya bordering. Ia pun membalikkan tubuh dan mengambil ponselnya.
“Assalamu’alaikum, Mas Arbi.” Sapanya.
“Wa’alaikumsalam, Mbak Zahra. Aku ganggu nggak nich?” kata Arbi dalam telepon.
“Nggak sich, kebetulan aku baru bangun. Kok tumben nelfon pagi-pagi buta gini?” Tanya Zahra.
“Hehehe.. Nggak papa, iseng aja. Soalnya aku belum tidur, pengen dininaboboin sama Mbak Zahra biar cepet tidur. Hehehe….” Canda Arbi sambil tertawa.
“Hum… maunya?! Kok begadang tu, emang ada apa? Asyik ngerjain tugas kampus sampai lupa waktu po? Tanya Zahra.
“Hehehe… Nggak koq. Mbak, kenapa sih bahasnya gitu terus, belajarlah, tugaslah, emangnya nggak ada yang lain po? Mbok ya sekali-kali Mbak Zahra tanyanya yang biasa aja. Jangan serius terus tha, Mbak. Ntar cepet tua lho? Canda Arbi lagi.
Lho kog?! Emang pertanyaanku tadi luar biasa ya? Bisa aja Mas Arbi itu, emang yang biasa itu yang gimana tha?” Tanya Zahra lagi.
“Maksudnya yang santai gitu, misalnya: lagi ngapain? Udah makan belum? Atau apa kek, kayanya Mbak Zahra itu orangnya serius terus, sampai-sampai bangun tidur juga gitu. Sekali-kali santai ja tha, Mbak.” Kata Arbi.
Lho, kok jadi Mas yang sewot. Masalah buat Mas Arbi?” kata Zahra enteng.
“Ih.. Mbak Zahra itu selalu gitu dech kalau dibilangin. Nyebelin dech! Pantesan aja cepet tua. Hahaha…” kata Arbi sambil tertawa.
“Yeach, terserah dech. Udah ku bilang, emang cetakannya begini. Udah dari sananya, mensyukuri apa yang ada emang salah yach?” kata Zahra membela diri. Zahra sendiri tidak tersinggung dengan ucapan Arbi, orang lain juga sudah ada yang pernah mengatakan hal yang sama padanya. Zahra memang tipe orang yang serius, jarang sekali ia bercanda dan tertawa. Ia lebih sering tersenyum saja dan jarang sekali ikut nongkrong bareng temen-temannya. Maka tak heran jika wajahnya tampak jauh lebih dewasa dari umurnya yang masih belia dan jauh lebih muda dibanding teman-temannya.
“E e e … dibilangin kok bandel sich? Hehehe… Mbak Zahra lagi  ngapain nich?” Tanya Arbi.
“Yach, udah jelas-jelas lagi ngobrol sama Mas Arbi napa ditanyain? Hehe… ini lagi mau mengawali aktivitas. Rencananya nanti mau jalan-jalan ke Curug Muncar bareng temen-temen. Jadi tugas rumahnya diselesaikan dulu.” Jawab Zahra.
“Oh, jadi yang dikatakan Nisa beneran jadi? Lha Mbak Zahra ntar bonceng siapa? Tanya Arbi.
“Ada dech, mau tau…aja. Hehe.. nggak tahu ding, lihat nanti yang kosong siapa. Mbak Nisa cerita sama Mas po? Lha Mas Arbi mau ikut juga? Nanti boncengan sama Mbak Nisa po?” berondong Zahra.
“Tanyanya satu-satu napa, Mbak? Hehe… Iya, tadi waktu di kampus Nisa ngajak bareng, tapi aku lagi sibuk. Jadi kayanya nggak bisa ikut.” Jawab Arbi.
“Ouch, gitu tha? Eh, Mas, udah dulu yach. Udah hampir subuh nich. Assalamu’alaikum.” Kata Zahra mengakhiri perbincangannya dalam telepon.
“Iya, wa’alaikumsalam.” Balas Arbi.
Zahra langsung bergegas ke belakang untuk melaksanakan niatnya yang tertunda karena menerima telepon dari Arbi. Usai melaksanakan shalat dan menyelesaikan tugas rumahnya, ia pun berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi bersama teman-teman kampusnya.
Sesampainya di halaman kampus, ternyata beberapa temannya sudah datang. Setelah personilnya lengkap, ia dan rombongan langsung berangkat menuju salah satu objek wisata di Kabupaten Pekalongan yaitu di Curug Muncar yang berlokasi di Kecamatan Petung Kriono. Mereka berjumlah 14 orang dengan 7 motor. Arbi pun ada diantara mereka, dia yang merupakan putra daerah Petung Kriono ada di posisi paling depan sebagai penunjuk jalan. Dia berboncengan dengan Nisa.
Sepanjang perjalanan mereka lalui dengan ceria, kondisi jalan yang lengang, naik-turun, dan penuh kelok membuat suasana perjalanan sangat seru, karena sesekali antarmotor saling beradu kecepatan. Zahra yang waktu itu berboncengan dengan Ma’ruf, sesekali beradu kecepatan dengan Arbi. Saat Zahra melewatinya, Arbi tampak tersenyum. Entah itu senyum malu gara-gara waktu di telepon tadi bilang nggak ikut, atau apa? Zahra tidak tahu dan tidak peduli. Ia sibuk memperhatikan pemandangan alam dataran tinggi yang indah dan tampak sangat menikmati perjalanannya.
“Zahra, maaf ya… jangan cemburu lho! Peace…” kata Nisa ketika melewati Zahra.
Zahra agak terkejut, ia hanya tersenyum. Dalam hati ia berkata,”Lho koq? Ada apa dengan Mbak Nisa? Siapa juga yang cemburu? Cemburu sama siapa coba? Aug ah, gelap. EGP.”
Sesampainya di desa Muncar, mereka menitipkan motor di rumah penduduk. Kemudian berjalan melalui jalan setapak dalam hutan menuju lokasi Curug Muncar. Meski baru saja menempuh 2 jam perjalanan dengan medan yang menantang, namun Zahra dan rombongan tampak bersemangat, seakan tidak merasakan lelah sedikitpun.
Mereka berjalan satau-satu, maklum namanya juga melewati jalan setapak dalam hutan, jadi tidak bisa berjalan beriringan. Setelah agak jauh masuk hutan, mereka pun mengikuti alur parit. Meski jalannya lebih jauh, tapi lebih aman. Tadi sempat ada yang terpeleset saat melalui jalur alternatif. Syukur langsung dibantu oleh teman yang lain, jadi tidak sampai masuk lembah.
Mereka berhenti sejenak dibibir sungai yang cukup deras. Arbi dan teman putra yang lain mencarikan jalur yang bisa dilalui Zahra dan teman putri lainnya.
“Zahra, kamu nggak papa khan? Aku sama Arbi nggak macam-macam kok.” Ucap Nisa sambil tersenyum menggoda dan sedikit kikuk.
Zahra yang tengah bersiap-siap melompat untuk menyebrang kaget dibuatnya, beruntung tidak tercebur ke sungai.“Iya, don’t worry, Mbak.” Ucapnya sambil seraya tersenyum, lalu tanpa pikir panjang ia langsung melompat turun ke dalam sungai yang dangkal dan yupz satu-dua-tiga! Sebentar saja ia sudah sampai diseberang.
“Hebat…!! Ih, Mbak Zahra keren… aku takut, Mbak. Bantuin donk.” Teriak Miya yang masih diatas.
“Lewat sini bisa!” kata Arbi sambil menunjukkan jalur lain untuk menyeberang. Kontan yang belum menyeberang pun langsung mengikuti jalur yang ditunjukkan Arbi.
Tak lama kemudian, terdengar gemuruh air terjun dari Curug Muncar. Zahra dan rombongan pun mempercepat langkah mereka.
“Subhanallah… Wouw… bagus banget!” teriak mereka hampir bersamaan.
Tanpa dikomando, seluruh rombongan bergegas mendekat ke arah Curug. Suasana berubah menjadi sangat ramai karena mereka saling menyerang dengan air seperti anak kecil. Dinginnya air yang seolah meresap sampai ke tulang-tulang tak menghalangi mereka untuk bermain air. Ada yang berteriak melepaskan beban pikiran yang mengganggu, ada yang berdiam diri dibawah guyuran air Curug, dan sebagainya.
Setelah merasa cukup tenang dan puas bermain air, Zahra pun menepi. Dia naik keatas batu yang cukup besar dan duduk diatasnya.
“Gimana Mbak Zahra?” Tanya Arbi yang ternyata ada dibalik batu sambil menggenggam ponselnya. Rupanya dia sedang menelpon seseorang.
“Mantap! Asyik banget! Kata Zahra seraya menunjukkan kedua jempolnya dan tersenyum. Arbi pun membalas senyumnya kemudian berjalan menuju ke Curug dan bermain air.
Nisa yang berada ditepi yang lain, tak jauh dari tempat Arbi mencuri pandang kearah Zahra dan Arbi secara bergantian. Kemudian dia menyerigai,”Ehm.. ehm…”
Setelah cukup lama berendam dan bermain di Curug, mereka mulai kedinginan.
“Pindah ke air panas yuk! Nggak kuat nich, dingin banget. Grrr…” kata Firman dengan kedua tangan yang tergenggam didepan dada.
“Yukkk…!!” sambut yang lain sambil bergegas menepi dan berjalan menurun menuju sumber air panas sambil bercanda ceria.
Sementara teman-temannya menghangatkan diri di air panas, ada juga yang membakar jagung dan singkong, Zahra berjalan menuju sungai yang tadi dilalui. Dia sengaja memisahkan diri karena ingin berjemur. Setelah yakin tdak ada teman yang mengikutinya, ia pun melepas jilbab dan menggerai rambut panjangnya. Sambil menunggu rambutnya agak kering, ia pun bermain air sambil menikmati nuansa hijau yang mengelilinginya dan mendengarkan kicauan burung nan merdu. Dia merasa sangat rilaks, ditambah gemuruh air sungai yang membuatnya benar-benar nyaman.
Setelah rambutnya agak kering, ia pun bergegas merapihkannya dan mengenakan jilbab sebelum ada teman yang melihat. Benar saja, tak lama setelah ia merapihkan pakaian dan jilbabnya, terdengar suara teman-temannya yang riuh menuju tempatnya duduk. Kemudian Zahra berjalan di depan. Di tengah sungai ia berhenti karena bingung mau menggambil jalur mana. Arbi yang kebetulan berada tepat dibelakangnya langsung sigap menggantikan posisinya.
“Lewat sini aja, kalau takut, aku jaga di sini dulu deh.” Kata Arbi mempersilahkan. Dia sendiri bersiaga di tempatnya.
Zahra jadi ragu-ragu, sebenarnya dia tidak takut, tapi canggung lantaran Arbi ada di situ.”Aduh… napa juga dia di situ. Aku bisa sendiri kok.” Bisik hati Zahra. Ia pun berusaha mengacuhkan Arbi. Hap, Berhasil! Tapi,”Innalillah…!” teriaknya kaget. Ternyata sepatu sebelah kirinya terlepas dan hanyut. Arbi berusaha mengejar, tapi tak berhasil. Hima yang ada dibelakangnya pun tak sempat menjangkaunya karena arusnya sangat deras.
“Aduh… maaf Mbak Zahra, tanganku nggak sampai.” Kata Arbi dengan nada menyesal.
”Iya, nggak papa kok, Mas.” Kata Zahra sambil memandang sepatunya yang terbawa arus. Sedianya sepatu yang satunya akan dihanyutkan sekalian, tapi ia mengurungkan niatnya karena teman-teman yang lain sedang mengantri untuk menyeberang.
“So sweet, ada Cinderela kehilangan sepatu nich. Ehm.. ehm…” ucap Nisa.
Zahra tidak menanggapi, ditinggalkannya sepatu yang sebelah. Lalu ia melanjutkan perjalanan dengan bertelanjang kaki sambil menunggu teman-teman yang lain. Setelah semua berhasil menyeberang, mereka pun kembali berjalan berurutan mengikuti alur parit. Arbi langsung mengambil tempat di depan, tapi karena Zahra sudah agak  jauh di depan, jadi ia berjalan dibelakang Zahra.
Ketika hampir sampai ke pemukiman warga, sekali lagi Nisa menyelutuk,”Aduh… yang lagi seneng. Pantesan aja dari tadi wajahnya merona dan matanya berbinar-binar. Ternyata bisa jalan bareng tha. Ehm…”
Zahra yang tahu bahwa yang dimaksud Nisa adalah Arbi dan dirinya pura-pura tak mendengar. Setelah sampai di rumah warga tempat tadi mereka menitipkan motor, mereka pun mengucapkan terima kasih dan mohon diri. Mereka juga menyempatkan diri untuk singgah ke rumah Arbi yang berada dibawah desa Muncar.
Di rumah Arbi, mereka disambut dengan ramah oleh keluarga Arbi. Mereka dijamu dengan sopan. Teman-teman Zahra pun merasa senang, dan langsung menyantap hidangan yang disediakan. Sebelum pulang, mereka menyempatkan diri untuk melihat situs sejarah “Lingga Yoni” yang berada di areal persawahan desa Telaga Pakis. Setelah hari hampir senja, mereka pun berpamitan dengan keluarga Arbi.
Pemandangan sepanjang perjalanan pulang pun sangat menawan. Mereka melaju dengan lebih cepat saat hari mulai gelap. Ditengah perjalanan, tiba-tiba motor Arbi mogok. Teman-teman yang lain turut berhenti kecuali Ma’ruf dan Zahra yang berada di posisi paling depan. Beberapa saat kemudian Zahra berseru,”Stop, Mas!”
Ma’ruf pun langsung menekan rem seraya berkata,”Ada apa, Ra?”
“Temen-temen kok belum kelihatan ya, Mas? Padahal tadi jaraknya nggak jauh-jauh banget. Jangan-jangan terjadi sesuatu, balik aja yuk!” ajak Zahra yang langsung disetujui oleh Ma’ruf.
Benar saja, ternyata bensin motor Arbi habis. Waktu mereka berdua datang, teman-teman putra sedang berusaha menampung sedikit bensin dari motor Zayin untuk diberikan kepada Arbi. Saat itu posisi mereka ada ditengah hutan yang jauh dari rumah penduduk. Sementara yang putra berkutat dengan bensin, Zahra dan dan teman-teman putri berusaha menenangkan Nisa yang ternyata takut gelap.
“Sepertinya sia-sia aja dech, buktinya dari tadi cuma dapat sedikit. Nanti kita malah kemalaman di sini.” Kata Ma’ruf.
“Bener juga, ya udah, biar aku yang turun untuk beli bensin. Kalian tunggu di sini.” Kata Firman.kemudian ia langsung menstater motornya dan berlalu dengan ditemani Rokib.
Sambil menunggu, Zahra berjalan ke tepi. Kebetulan di situ ada curug kecil. Ia pun melepas jilbabnya dan langsung berwudlu.
“Mbak Zahra sedang apa di situ? Gelap lho, Mbak. Emang nggak takut?” Tanya Arbi dari seberang jalan.
Zahra menyelesaikan wudlunya, seteah itu ia kembali ke tempat teman-temannya.
“Habis wudlu, Mas. Ini mau sholat maghrib dulu biar tenang. Mas bawa jas hujan nggak? Aku pinjam buat alas ya…” kata Zahra sambil mengambil mukena dari dalanm tasnya dan bergegas memakainya.
Sementara itu, Arbi langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu menghamparkan jas hujan di tepi jalan,”Bawa, Mbak. Silahkan, kiblatnya kearah sana!” ucapnya sambil menunjuk.
“Ya, makasih, Mas.” Kata Zahra. Kemudian ia melaksanakan sholat dengan khusyu’. Beberapa orang teman yang lain mengikutinya untuk melaksanakan sholat, sementara yang lain berjaga.
Tak lama kemudian, Firman dan Rokib datang dengan sebotol bensin. Setelah semuanya beres, mereka pun langsung melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin gelap. Setelah sampai disebuah masjid, mereka pun berhenti karena sebagian ada yang belum sholat.
“So sweet… Aduh asyik nich yach tadi dihamparin alas buat sholat…” goda Nisa.
Zahra menarik tangan Nisa dan mengajaknya agak menjauh dari rombongan,”Dari tadi pagi Mbak Nisa semangat banget godain aku?” kata Zahra sambil berjalan santai dengan Nisa.
“Hehehe… Maaf, Zahra. Abis aku nggak enak hati sama kamu, takutnya kamu cemburu gara-gara aku bonceng Arbi. Maaf ya…” ucap Nisa sungguh-sungguh.
“Olala, ya nggak papa. Ngapain juga aku jelous? Orang aku sama dia nggak ada apa-apa juga. Santai aja…” kata Zahra tenang dan mantap.
“Mbak Nisa ada rasa sama Mas Arbi po? Kalau suka bilang aja, nanti aku juga bantu ngomong dech..” lanjut Zahra balik menggoda.
“Ih, apain sich? Ya nggaklah, aku udah punya sendiri kalie.. Lagian, nanti kamunya cemburu, nyesel, ntar nangis gimana?” balas Nisa.
“Udah ku bilang, nggak ada apa-apa antara aku dan dia, ngapain juga sampai segitunya?” kata Zahra berusaha menjelaskan.
“Akh… masa sich… jangan ngilang-ngilangin akh. Hehehe…” serang Nisa.
“Astaghfirullah, serius. Makanya kalau Mbak suka bilang aja.” Tegas Zahra.
“Nggak nggak nggak, ih Zahra kok gitu sich? Nggak lah, kamu kok cemburu banget gitu sih? Ya maaf kalau dari tadi Arbi sama aku terus. Abist aku nggak biasa di daerah pegunungan. Jadi takut… Maafin aku sih, Ra. Please…” kata Nisa dengan nada merajuk.
“Iya, nggak papa. Tapi jangan bilang gitu terus donk, nanti bisa jadi fitnah.” Kata Zahra.
“Makasih, lho bukannya emang bener? Aku nggak percaya kalau kamu nggak ada hubungan khusus sama dia.” Bantah Nisa.
“Masya Allah, aku buktiin ya?! Perhatiakan baik-baik!” kata Zahra gemas. Kemudian ia menyapa Arbi yang sedang duduk di teras masjid,”Dimas, kok masih duduk di situ? Sholat gih! Udah hampir isya’ lho!”
Arbi agak kaget, lantas tersenyum,”Iya Yunda, ini juga mau wudlu. Makasih udah diingetin. Hehehe…” Kata Arbi sambil berdiri, kemudian berlalu.
“Dengerkan? Dia panggil aku apa? Yunda artinya kakak. Kami cuma kakak adik.” Jelas Zahra penuh kemenangan.
“Eit, nggak percaya! Arbi kan lebih tua dari kamu. Masa jadi adik kamu, kebalik donk, Ra?” Tanya Nisa sangsi.
“Emang kenyataannya gitu, gimana lagi? Meski secara biologis dia 3 tahun lebih tua dariku, tapi toh dia enjoy aja aku anggap sebagai adik. Kenapa Mbak yang sewot? Tanya Zahra.
“Ya iyalah secara! Nggak macing donk, masa yang lebih kecil jadi kakaknya?” kata Nisa belum bisa menerima.
“Ehm… Astaghfirullah, suka-suka donk. Masalah buat Mbak Nisa? Mas Arbi aja nggak keberatan kok. Secara akademis kan dia adik kelas kita. Nggak papa donk, sepanjang aku tetap menghargai dia. Kan udah negoisasi dulu. Wkwkwk…” kata Zahra membela diri.
“Yee… ketahuan, kesepakatan apa nih?” ujar Nisa menang.
“Jadi kakak adiklah! Udah akh, cape’ jelasinnya. Yang diajak ngobrol juga nggak percaya. Up to you lah. Aku ke belakang dulu ya… dah…” kata Zahra sambil berlalu.
“Eit tunggu dulu, Ra! Aku belum selesai ngomong…” kata Nisa.
Tapi terlambat karena Zahra sudah keburu berlalu ke belakang.
*** the end ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar